PUNK, PEJABAT dan SAMPAH

Punk, iya anak punk sering kali kita temui di pinggiran jalan raya, lampu lalu lintas tempat biasa mereka nongkrong, ngamen disaat kendaraan mulai berhenti. Mereka bergitar sambil bernyanyi menghibur para pengendara yang sedang menunggu pergantian lampu merah ke lampu hijau. Selepas bernyanyi seperti biasa mereka meminta uang seikhlasnya, mereka tidak sama sekali memaksa untuk meminta uang, karena mereka sadar mereka tak seperti band-band terkenal yang sekali nyanyi bisa dapat jutaan rupiah. Pakaian yang mereka pakai berantakan tak karuan, tak seperti para pejabat-pejabat yang berdasi rapi dan bersepatu.

Tapi mengapa mereka dianggap sampah masyarakat? Sungguh ini tidak adil, mereka hidup seperti itu, hidup dijalanan bukan tanpa alasan. Karena kondisi yang serba kekurangan secara ekonomi yang memaksakan mereka hidup dijalanan. Mereka bekerja di pinggir jalanan mereka tidak mencuri, sekali lagi tidak mencuri, namun satpol pp selalu menjadi sosok yang paling ditakutkan oleh para pasukan anak punk? Satpol pp bekerja cepat dalam pemberantasan anak jalanan/punk. Pemerintah intropeksi diri dulu donk, mereka tidak mencuri uang rakyat, mereka minta uang seikhlasnya.

Yuk lirik dulu pemerintahan kita, koruptor merajalela mereka mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pejabat kita iya, yang berpakaian berdasi rapi dan bersepatu. Mereka(pejabat) seenaknya mencuri, seandainya saja para penegak hukum kerja cepat seperti yang dilakukan oleh satpol pp mengejar para anak jalanan, beri mereka hukuman yang membuat mereka jera dan kita akan lihat dengan mata kita sendiri bagaimana hasilnya. Contoh kasus yang terjadi baru saja yaitu kasus ketua DPD Irman Gusman sebagai tersangka penerima suap.

Berbicara masalah anak punk adalah sampah masyarakat, saya sama sekali kurang setuju pernyataan itu, lebih setuju jika para koruptor di negara kita adalah sampah rakyat yang harus diberantas dan dihilangkan. Mari kita berfikir lebih jernih lagi, siapa yang lebih pantas berjulukan SAMPAH?